AKTUALISASI SENI DAN TRADISI DALAM MEMPERKUAT NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA
Hasan Basri
Dewan Kesenian Blambangan
***
Kita warga Banyuwangi patut bersyukur, karena di Banyuwangi tumbuh dan berkembang bermacam-macam kesenian dan tradisi dan yang beraneka macam. Kekayaan seni dan radisi itu mulai dari sastra (lisan dan tulis), musik, tari, tembang, seni pertunjukan, arsitektur, batik, seblang, endog-endogan, sapar-saparan dan lain-lain, menjadi modal yang tak terharga sebagai dasar pembentuk identitas daerah yang sekarang ini menjadi sumber daya tarik Banyuwangi di kancah nasional maupun internasional. Bandingkan dengan beberapa daerah yang kesulitan menemukan identitasnya, karena proses sejarahnya tidak sedinamis yang terjadi di Banyuwangi.
Seperti penjelasan Pak Umar Kayam yang mengutip pendapat Hegel dan Marx bahwa kebudayaan itu sebagai proses historis-hierarkis-dialektis berbagai unsur yang menyangga kebudayaan tersebut. Kebudayaan, selanjutnya masih menurut Pak Umar Kayam adalah usaha atau upaya dari masyarakat untuk menjawab tantangan yang dihadapi pada tiap tahap perkembangan yang dihadapinya. Banyuwangi, yang dulu disebut Blambangan dengan dialektika sejarahnya yang spesial melahirkan kekayaan seni karena ditopang oleh indigenous peoples (sekarang disebut sebagai wong Using) yang terbuka, egaliter, berpikir simpel dan menyukai kesenian.
Kebudayaan, sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat secara universal memiliki tujuh unsur, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, (7) sistem teknologi dan peralatan. Jadi ketika kita membincangkan kesenian berarti membahas salah satu dari unsur kebudayaan. Demikian juga ketika kita membincangkan tradisi berarti membahas salah satu unsur kebudayaan yaitu unsur sistem religi dan upacara keagamaan. Maka itu, penyebutan seni budaya sebenarnya penyederhanaan yang kurang pas.
Kalau ditanya kepada seseorang, apakah seni itu, biasanya akan menyebutkan beberapa kesenian, seperti gandrung, janger kuntulan dan lain-lain. Intinya seni itu adalah sesuatu yang enak dipandang, enak didengar, sehingga menyenangkan. Berarti seni itu ciptaan manusia yang indah. Memang keindahan menjadi unsur pokok dalam membicarakan masalah seni. Kalau tidak indah maka itu bukan seni. Seni selalu dihubung-hubungkan dengan unsur keindahan. Sesuatu yang indah itu biasanya merujuk pada ketaraturan susunan bagian dari bentuk seni, keselarasan unsur maupun pola yang mempersatukan bagian-bagiannya.
Tetapi di samping itu yang lebih penting adalah sesuatu yang bersangkutan dengan isi atau makna maupun pesan-pesan yang dikandungnya. Tarian yang indah bukan sekedar keterampilan teknik pada penarinya membawakan gerak yang dinamis, atau sebuah patung dengan kecermatan pahatannya, sehingga hanya memenuhi hasrat keinginan mata saja. Tetapi tari dan patung itu bisa mengungkapkan makna atau pesan tertentu sehingga dapat memenuhi kebutuhan ruhani juga. Karena dalam diri manusia itu selain pisik juga memiliki elemen ruhani. Jadi yang dimaksud keindahan dalam seni itu ternyata harus mengandung isi, makna atau pesan-pesan yang baik, berguna bagi kehidupan manusia. Gandrung itu indah karena gerak tari dan musiknya yang dinamis, dan gandrung itu bermakna ketika kita meresapi lantunan syair-syair klasiknya, dan kita mendapatkan pesan-pesan berharga darinya. Demikian juga misalnya dengan lukisan. Lukisan yang indah tentang wanita yang parasnya jelek, itu berbeda dengan lukisan yang jelek tentang wanita yang indah. Bagi orang yang memahami arti keindahan seni akan berkomentar: lukisan indah tentang wanita yang jelek itu betul-betul sebagai karya seni karena membawa makna atau pesan tertentu. Sementara lukisan yang jelek tetang wanita yang indah itu tidak bisa dikatakan sebagai karya seni karena tidak dapat mengungkapkan wanita tersebut, artinya yang indah itu hanya wanitanya bukan lukisannya.
Kita sepakat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdiri di atas landasan budaya yang luhur dan bernilai tinggi. Hal tersebut bisa dilihat dari tinggalan para pendahulu di seluruh nusantara baik yang bebentuk benda seperti candi, keris, maupun yang berbentuk non benda seperti norma, nilai. Singkatnya, keluhuran budaya nusantara itu kemudian dirangkum oleh para pendiri bangsa menjadi landasan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila.
Warisan yang kita terima daripara leluhur juga menunjukkan keluhuran budaya. Bisa disebutkan beberapa diantaranya seperti:
- Kidung Sri Tanjung, sastra lisan yang lahir abad XIII yang menampilkan sifat kerakyatan dan tidak ada latar belakang tradisi kraton merupakan karya sastra yang menyajikan upacara pensucian serta deskripsi mengenai apa yang terjadi sesudah kematian. Kidung Sri Tanjung menjadi cerita yang sangat populer sampai dipahatkan di Candi Surawana dan Candi Penataran.
- Babad-babad tentang Blambangan yang bisa mengungkap kondisi batin orang Blambangan dalam memaknai sejarah leluhurnya.
- Kesenian Gandrung dan syair-syair klasiknya sebagai media konsolidasi perjuangan dalam mempertahankan harga dirinya sebagai masyarakat yang berdaulat.
- Gending-gending klasik Banyuwangi yang bernilai sastra tinggi yang mengangkat dan menyuarakan kepahlawanan, persoalan-persoalan kemasyarakatan, nilai-nilai kehidupan yang sarat simbol.
- Arsitektur rumah adat yang mengedepankan fungsi ruang sebagai media komunal.
- Syi’iran, sholawatan, asyroqol yang riang namun kontemplatif.
- Berbagai kekayaan simbolik di pernik-pernik ritual adat di Banyuwangi.
UUD 1945 Pasal 32 dengan jelas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini, di era globalisasi sekarang ini, pemerintah berkewajiban melindungi, memelihara dan mengembangkan, melestarikan nilai-nilai penting budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa.
Kebudayaan senantiasa berada dalam proses, berkembang, berubah, menyusut, bertransformasi. Karenanya, pelestarian budaya bukan menentang takdir perubahan kebudayaan, akan tetapi pelestarian berarti menjaga eksistensinya dalam alur yang dinamis. Pelestarian bukan membekukan kebudayaan tersebut. Dalam pemikiran ini pelestarian dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga aspek, yaitu perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Setidaknya ada tiga pemanfaatan budaya, yaitu: (1) pendidikan, (2) industri, dan (3) pariwisata.
Pemanfaatan kebudayaan untuk tujuan pendidikan adalah untuk kepentingan substansial, yaitu: (a) untuk memacu internalisasi nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat integritas sebagai bangsa yang mampu menjunjung nilai-nilai luhur; (b) untuk menumbuhkan kepekaan dan toleransi dalam pergaulan antar masyarakat; (c) untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Apabila ketiganya terlaksana, maka tercapailah tujuan kita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemanfaatan kebudayaan untuk pengembangan industri budaya (buku, film, musik dll) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin serta peningkatan mutu kebudayaan menuju masyarakat yang berperadaban lebih baik. Industri budaya harus mampu mengusung budaya lokal dalam tataran nilai yang lebih tinggi sebagai kebanggaan bersama untuk menambah kekuatan jati diri budaya bangsa. Industri budaya diharapkan mampu menjadi pilihan mayarakat dalam konteks mempertahankan eksistensi budaya lokal dari gempuran industri budaya asing.
Pemanfaatan ketiga adalah kebudayaan untuk kepentingan pariwisata. Banyuwangi sekarang ini sedang getol-getolnya mengembangkan “wisata budaya” atau “cultual tourism” . Pilihan Banyuwangi ini sungguh sangat tepat. Buktinya UNESCO juga memandang strategis wisata budaya. Strategis, karena wisata budaya diyakini mampu meningkatkan interaksi manusia antar bangsa, sehingga menggerakkan pendalaman pemahaman terhadap budaya yang berbeda yang berujung tumbuhnya saling memahami dan menghargai budaya antar bangsa dan itu adalah modal yang penting bagi terciptanya perdamaian dunia.
Namun di sisi lain, pemanfaatan khasanah budaya dalam kepariwisataan juga mengandung kekhawatiran akan terjadinya distorsi dan pengikisan kebudayaan itu sendiri. Maka di sinilah terdapat relevansi untuk membicarakan kebijakan pengelolaan terhadap objek-objek budaya yang dijadikan destinasi wisatawan.
Hal yang mendasar dalam pengembangan wisata budaya ini adalah perlunya kesatuan visi dalam pelaksanaannya. Lebih serunya harus ada ideologi dalam pengembangannya. Di sisi hulu kebudayaan harus dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Penciptaan, kreativitas, eksplorasi, perenungan, pendalaman nilai-nilai (lokalitas) merupakan suatu kebutuhan yang harus dilakukan secara terus-menerus. Sumber-sumber budaya harus senantiasa dirawat dan dilestarikan agar tidak menjadi kering dan mati. Sedangkan di sisi hilir, terdapat pengemasan, pemasaran, penyebarluasan informasi budaya. Hulu dan hilir perlu disadari sebagai satu kesatuan keberlanjutan yang memerlukan wawasan dan penanganan terintegrasi yang diikat oleh satu visi atau ideologi. Visi dan ideologi tersebut adalah bahwa kebudayaan yang kita miliki perlu pemberdayaan berkelanjutan, ditopang oleh pemihakan terhadap kebudayaan yang bermutu tinggi dan luhur oleh semua pihak, mampu mensejahterakan masyarakat secara adil dan menempatkan masyarakat sebagai subjek.
Sinergi hulu dan hilir sekali lagi penting diperhatikan. Yang kita butuhkan adalah para pembina kebudayaan, para kreator, pencipta yang aktif di kawasan hulu, juga pelaku ekonomi di kawasan hilir yang semakin cerdas dan berwawasan budaya yang luas dan mendalam, sehingga dinamika kebudayaan dalam kemasan wisata budaya ini tetap dalam jalur tumbuh kembangnya kebudayaan yang benilai tinggi dan luhur. Tak ada lagi produk budaya yang hanya memuja pasar dengan menjual produk budaya yang bernilai rendah dan menistakan nilai-nilai luhur kearifan lokal. Akhirnya perlu disadari pula bahwa pengembangan budaya itu adalah untuk menampilkan manusia Indonesia dalam kemuliaannya sebagai bangsa yang besar yang memiliki sejarah dan kebudayaan yang luhur.
BAHAN BACAAN:
Ardiwidjaja, Roby. Pariwisata Budaya sebagai Salah Satu alat Pelestari Kesenian Tradisional, www.academia.edu, diakses tanggal 24 Februari 2016.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudyaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran, Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
Siti Baroroh Baried dkk. 2010.Bahasa , Sastra, Dan Masyarakat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
- Sumandyo Hadi, 2006. Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Pustaka.
Zoetmulder. PJ. 1994. Kalangwan. Jakarta: Djambatan.